Sriwijayadaily
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) telah mengesahkan Peraturan Menteri PPPA Nomor 8 Tahun 2021 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Asisten Deputi Perlindungan Hak Pekerja dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Kemen PPPA, Rafail Walangitan mengatakan, pengesahan SOP tersebut dilatarbelakangi oleh kondisi dilapangan dimana ditemukan kenyataan bahwa perempuan dan anak menjadi kelompok yang rentan menjadi korban TPPO.
“Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) sebesar 91 persen atau 1.287 korban TPPO dalam rentang tahun 2016-2020 merupakan perempuan, termasuk yang masih berusia anak,” ungkap Rafail dalam Media Talk: Kondisi Tindak Pidana Perdagangan Orang di Indonesia dan Dampaknya pada Perempuan dan Anak, seperti dilansir indonesiadaily.co.id, Sabtu (4/12/2021) .
Kemen PPPA selaku Ketua Harian Gugus Tugas Pusat Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang melalui pencatatan dan data yang dirangkum dalam SIMFONI PPA, diketahui bahwa pada 2020 terjadi kenaikan jumlah korban sebesar 104 persen. “Pada 2019 tercatat 186 kasus, kemudian pada 2020 meningkat menjadi 379 kasus. Kenaikan ini signifikan, di mana mayoritas korban yang tercatat adalah perempuan. Ini satu sisi yang perlu menjadi perhatian kita bersama,” ujarnya.
Oleh karena itu menurutnya, SOP tersebut merupakan rujukan standar yang tepat dan komprehensif bagi pelayanan terhadap korban atau saksi oleh seluruh Kementerian/Lembaga yang menangani kasus TPPO.
“Ini merupakan komitmen Kemen PPPA untuk memberikan pelayanan kepada korban dan saksi TPPO. Siapapun yang melihat, merasakan, mendengar, dan mengetahui adanya kasus TPPO di sekitarnya, bisa merujuk pada Peraturan Menteri tersebut. SOP ini juga menjawab pemenuhan hak daripada korban, yaitu pengaduan, rehabilitasi kesehatan fisik dan mental, rehabilitasi sosial, pelayanan bantuan hukum, pelayanan pemulangan, dan pelayanan terintegrasi sosial,” jelas Rafail.
Atas pengesahan itu, National Project Officer Counter Trafficking Unit International Organization for Migration (IOM), Eny Rofiatul Ngazizah memberikan apresiasi terhadap komitmen Kemen PPPA dalam pencegahan dan penanganan TPPO melalui pengesahan Peraturan Menteri tersebut.
“Kita mengetahui penanganan kasus TPPO biasanya pelayanannya masih bias gender, masih terdapat diskriminasi terhadap korban, koordinasi antara pemberi layanan tidak sinkron, model jejaring yang belum terstruktur, melalui SOP ini kita secara serius maju bertahap untuk berkolaborasi bersama dalam mewujudkan pelayanan yang terpadu dan terintegrasi untuk saksi atau korban TPPO,” tutur Eny.
Eny pun sepakat, perempuan dan anak merupakan kelompok yang kerap terjebak sebagai korban TPPO. Terlebih, di masa pandemi COVID-19 ini, media sosial menjadi salah satu pintu masuk kasus TPPO, terutama bagi anak-anak. “Modus yang digunakan adalah anak-anak dijanjikan untuk bekerja di cafe, menjadi artis atau model, iming-iming mendapat uang secara instan, akhirnya anak-anak terjebak menjadi korban TPPO dan mayoritas dieksplotasi secara seksual dan ketenagakerjaan,” ungkapnya.
Menurut Eny, hal ini pun menjadi tantangan tersendiri. Pasalnya, kasus TPPO harus memenuhi unsur proses, cara, dan tujuan. “Diantara caranya ada bujuk rayu, dipaksa, ataupun diberikan informasi palsu. Namun dengan metode online, anak-anak secara aktif me-register dirinya sendiri ke dalam jaringan itu. Seolah-olah dia menjadi sukarela melakukannya. Pada akhirnya, saat korbannya berhasil kita rescue, kemudian proses hukumnya dilanjutkan, kesukarelaan ini yang membuat unsur TPPO-nya susah dipenuhi menurut kacamata penegak hukum,” jelas Eny.
Di sisi lain, Tenaga Ahli Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Syahrial Martanto menekankan pentingnya sinergitas seluruh pemangku kepentingan dalam mencegah dan menangani kasus TPPO di Indonesia. Hingga saat ini kondisi TPPO masih stagnan. Meskipun negara sudah memiliki instrumen, baik dari Pemerintah Pusat sampai di level Kabupaten/Kota, ada gugus tugas, ada rencana aksi nasional yang punya program atau agenda yang tertata dan sistematis, tetapi yang menjadi catatan kalau pihak pemangku kepentingan tidak merasa memiliki kepentingan.
“Ini catatan kami yang harus dijadikan perhatian semua pihak, bahwa pencegahan, penanganan, perlindungan, maupun pemulihan korban dan saksi tidak akan berjalan optimal, jika tidak ada dukungan dari seluruh unsur-unsur terkait,” tutup Syahrial. (A.Naafi/ indonesiadaily)